Anak
kecil berbadan gemuk terlihat menggemaskan. Namun, sesungguhnya ada ancaman
kesehatan. Para ibu patut waspada jika tidak berbagai masalah dapat terjadi.
Salah satunya diabetes saat dewasa.
Dr. Andi Nanis
Sacharina, SpA(K) mengerutkan dahi mengetahui data yang ada. Balita yang obesitas
jumlahnya terus naik. Penelitian menyebutkan, relevansi kegemukan anak, dengan munculnya
penyakit berbahaya di masa mendatang.
Upaya dokter spesialis
anak itu member penyadaran bahaya anak kegemukan mungkin tak mudah. Pandangan
masyarakat yang salah selama turun temurun, adalah ganjalan utama.
”Ini kecenderungan dan
sudah stagnan di kepala kita, takut anak kekurangan gizi, cenderung memanjakan
anak dengan makanan, tanpa melihat komposisinya, dan cenderung lihat anak yang
gemuk itu lucu, malu kalau anaknya kurus,” ujarnya.
Padahal yang benar,
anak tak boleh asal gemuk. Tapi anak harus tumbuh proporsional sesuai usia.
Proporsional antara berat, tinggi badan dan jenis kelamin.
Dr. Andi Nanis wajar
terus memberikan peringatan. Anak gemuk berkorelasi munculnya diabetes (DM)
tipe 2, hipertensi, dan penyakit jantung koroner. Anak biasanya hanya terkena
DM tipe 1. Tapi dengan makin tingginya obesitas, kasus DM tipe 2 meningkat.
Data di luar negeri
menunjukkan, awalnya hanya 5-10 persen kasus DM anak-anak di AS dengan DM tipe
2. Namun, kini telah menjadi 30 persen, dan sekitar 80 persen anak DM tipe 2
mengalami obesitas.
Karenanya, angka
overweight menjadi perhatian serius negara itu. Pada tahun 1970-2000 overweight
meningkat dari lima ke 15 persen, untuk anak dan remaja meningkat hingga tiga
kali lipat.
Sedangkan di Indonesia
angka Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), tahun 2007-2010 diketahui terjadi kenaikan
dua hingga tiga persen untuk anak berusia di bawah 15 tahun. Angka ini sudah
cukup signifikan. ”Seperti epidemi di dunia, sejalan antara peningkatan obesitas,
sementara di masyarakat kita lebih menonjol masalah malnutrisi yang berhubungan
dengan kurang gizi. Jadi ternyata obesitas dan kurang gizi sama-sama menjadi
masalah yang perlu mendapat perhatian serius,” sebut dr. Andi Nanis.
Padahal kegemukan
secara perlahan akan dapat menyebabkan DM tipe 2. Jika ketika masih anak atau
remaja sudah gemuk, sudah muncul resistensi insulin di usia lebih dini. ”Kita
harapkan, setelah masuk pubertas, jangan sampai anak kita overweight. Fase anak
ke pubertas kita harapkan naik cuma dua kilogram per tahun. Kalau obesitas
harus skrining, agar tahu apakah ia berisiko kena DM tipe 2 atau tidak,”
ujarnya.
Skrining dilakukan pada
anak gemuk yang berisiko DM tipe 2. Anak yang memiliki riwayat keluarga,
ayah-ibu atau nenek-kakek dengan DM tipe 2 atau menunjukkan tanda resistensi
insulin dianggap berisiko DM tipe-2. Tanda resistensi insulin pada anak dapat
berupa kulit berwarna hitam keunguan, seperti daki pada tengkuk atau ketiak,
dan lipatan paha.
Untuk skrining,
biasanya dokter akan meminta pemeriksaan gula darah puasa. Kadar gula darah diperiksa
setelah anak puasa selama minimal delapan jam, dan bila hasilnya >126 mg/dL
dianggap mengalami diabetes.
Kegemukan dilihat dari
Body Mass Index atau proporsi berat badan menurut tinggi badan. Juga lingkar
perut di atas 80 persentil (menurut Tabel lingkar perut menurut usia) sudah
dianggap berlebih. Ini lebih baik dicari tahu, apakah ada penyakit hormonal
atau bawaan, ataukah kegemukan akibat faktor luar seperti asupan makan berlebih
dan cara hidup yang tidak aktif.
Sebenarnya sangat
jarang anak kecil di bawah tiga tahun mengalami kegemukan. Biasanya kegemukan setelah
usia tersebut. Untuk kasus kegemukan ini diperlukan pendekatan khusus pada
orangtua, karena dikhawatirkan akan tersinggung.
”Jadi untuk usia di
bawah 10 tahun, bila obesitas tidak berlebihan tidak dianjurkan skrining, usia
10 tahun ke atas obesitas, baru diskrining. Mungkin awal-awal hanya awasi
proporsi penambahan berat badan terhadap tinggi badan, dengan mengatur pola
asupan makanan dan anjuran olah raga atau meningkatkan aktivitas fisik. Setelah
10 tahun masih gemuk harus waspada,” ujarnya.
Selain itu perlu
pendekatan di keluarga. Disarankan family education untuk menghindari pola makan
berlebih, tak sehat dan tak seimbang. Pola makan di keluarga harus diperbaiki.
Biasanya anak kecil yang nangis langsung diberi makan agar diam.
Selain itu pola hidup
keluarga diarahkan agar lebih banyak bergerak (beraktivitas). Hal ini diharapkan
anak gemuk merasa terdorong oleh seluruh keluarga, dan tak merasa tersisihkan
karena kondisi tubuhnya gemuk.
Depkes telah membuat
buku pedoman untuk sekolah guna mencegah, mendeteksi obesitas, dan
komplikasinya pada siswa. Yakni antara lain mengatur pola makan dan aktivitas fisik.
Seluruh siswa (baik kurus atau gemuk) perlu ikut program olahraga.
Sedangkan di rumah,
anak anak juga tidak boleh aktivitas diam yang terlalu lama. Misalnya, nonton
TV, dan main game di TV atau gadget sambil duduk dibatasi paling lama dua jam
per hari. Dianjurkan sehari minimal olah raga selama 60 menit. Lalu jika terlanjur
gemuk? harus menjaga proporsi tubuh anak, dan pintar mengatur menu makanan
berimbang. Anak juga harus diajak olahraga dan aktivitas fisik sedini mungkin.
Perlu diingat bila anak
gemuk terkena DM, maka penyakitnya bisa lebih berbahaya dari orang dewasa.
Setiap orangtua, jika sayang dan memerhatikan masa depan anaknya, sepertinya
jangan menganggap remeh data ini. Karena kegemukan di usia anak meningkatkan
risiko kematian dini. Penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
jantung koroner dapat dialami dan membahayakan jiwa di usia lebih cepat muda.
Diabetes yang tak
terkontrol akan membahayakan organ tubuh seperti ginjal, mata, pembuluh darah
dan jantung, juga saraf. Jadi bukan saja kematian dini, tapi anak atau remaja
yang mengalami diabetes berisiko mengalami kecacatan tubuh, seperti kebutaan dan
amputasi bagian tubuh, karena luka yang sulit disembuhkan. ”Kata kasarnya,
orangtua yang membiarkan anaknya kegemukan, mengharapkan anaknya bermasalah.
Ini terbukti dari penelitian, anak gemuk risikonya meningkat lebih dari dua
kali lipat untuk mengalami kematian sebelum usia 50 tahun,” ingat dr. Andi
Nanis.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.